Trading Halt: Pengertian, Efek, dan Fenomenanya di Indonesia
Pendahuluan
Pasar saham adalah cerminan dinamika ekonomi yang penuh dengan naik-turun. Salah satu mekanisme yang digunakan untuk mengendalikan volatilitas ekstrem adalah Trading Halt, atau penghentian sementara perdagangan saham. Di Indonesia, Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali menerapkan Trading Halt pada Selasa, 18 Maret 2025 menyusul gejolak pasar yang signifikan. Fenomena ini menarik perhatian pelaku pasar dan investor, baik lokal maupun internasional.
Melalui artikel ini, kita akan membahas apa itu Trading Halt, dampaknya, sejarahnya di Indonesia, serta mengapa kejadian ini kembali terjadi pada Maret 2025.
Pengertian Trading Halt
Trading halt adalah penghentian sementara aktivitas perdagangan saham di bursa, yang bisa berlaku untuk satu saham tertentu atau seluruh pasar. Ada dua jenis utama: Regulatory Halt, yang diberlakukan oleh otoritas seperti BEI atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan regulasi, dan Non-Regulatory Halt, yang biasanya dipicu oleh volatilitas ekstrem atau gangguan teknis. Tujuannya adalah memberikan jeda kepada investor untuk mencerna informasi penting, mencegah kepanikan massal, dan menjaga stabilitas pasar. Di Indonesia, aturan Trading Halt terkait erat dengan Circuit Breaker, yang diaktifkan saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun tajam, misalnya lebih dari 5% dalam satu hari perdagangan.
Efek Trading Halt
Trading Halt membawa dampak ganda. Di sisi positif, mekanisme ini mampu meredam volatilitas berlebihan dan mencegah panic selling yang bisa memperburuk kondisi pasar. Investor mendapat waktu untuk mengevaluasi situasi, terutama saat ada berita besar yang memengaruhi pasar. Namun, ada juga sisi negatifnya. Jika halt berlangsung lama atau sering terjadi, investor bisa kehilangan kepercayaan, dan likuiditas pasar terganggu. Secara ekonomi, Trading Halt bisa memperlambat aktivitas perdagangan harian, memengaruhi arus modal, dan menimbulkan ketidakpastian di kalangan pelaku pasar.
Sejarah Trading Halt di Indonesia
Di Indonesia, Trading Halt bukan hal baru. Salah satu kejadian paling memorable terjadi pada Maret 2020, saat pandemi COVID-19 melanda. IHSG anjlok tajam akibat kepanikan investor global, memaksa BEI menghentikan perdagangan beberapa kali dalam sebulan, termasuk pada 12, 13, 17, dan 23 Maret 2020. Sebelum itu, trading halt signifikan terjadi pada 8 Oktober 2008, saat krisis finansial global menyebabkan IHSG jatuh lebih dari 10% dalam sehari. BEI dan OJK memiliki regulasi ketat untuk ini, termasuk Surat Keputusan Direksi BEI No. Kep-00024/BEI/03-2020, yang mengatur penghentian sementara selama 30 menit jika IHSG turun 5%, dan Trading Suspend jika penurunan mencapai 15%.
Trading Halt Terakhir di Indonesia Sebelum Maret 2025
Sebelum Maret 2025, Trading Halt terakhir yang tercatat terjadi pada Maret 2020, saat IHSG mengalami tekanan akibat kenaikan suku bunga global dan pelemahan rupiah. Penurunan IHSG saat itu mencapai 5,5% dalam satu sesi perdagangan, dipicu oleh laporan ekonomi yang menunjukkan perlambatan pertumbuhan domestik. Halt berlangsung selama 30 menit, dan pasar berhasil stabil setelahnya berkat intervensi komunikasi dari BEI dan pemerintah. Kejadian ini menunjukkan bahwa trading halt efektif untuk memberikan jeda, meski tidak selalu menyelesaikan akar masalah.
Trading Halt di Maret 2025
Pada 18 Maret 2025, BEI kembali memberlakukan trading halt setelah IHSG anjlok 5,02% ke level 5.146 pada sesi pertama.Reaksi pasar pun beragam—ada yang melihatnya sebagai langkah bijak untuk mencegah kerugian lebih besar, namun sebagian investor ritel merasa cemas karena terhentinya aktivitas jual-beli.
Mengapa Trading Halt Kembali Terjadi di Maret 2025?
Kejadian ini tidak lepas dari konteks ekonomi yang kompleks pada awal 2025. Pertama, kondisi global menunjukkan ketidakpastian, dengan kenaikan harga komoditas dan pelemahan mata uang emerging markets, termasuk rupiah. Kedua, domestically, kebijakan pemerintah untuk menaikkan pajak energi demi fiskal memicu sentimen negatif di kalangan investor. Ketiga, ada tren volatilitas di IHSG sejak Februari 2025, diperparah oleh spekulasi atas kinerja emiten besar seperti DCI Indonesia dan perusahaan energi milik Prajogo Pangestu (BREN, TPIA), yang menjadi pemberat indeks. Terakhir, kemungkinan gangguan teknis di sistem perdagangan BEI juga tidak bisa diabaikan, mengingat volume transaksi yang melonjak. Kombinasi faktor ini menciptakan tekanan besar, memicu trading halt sebagai respons darurat.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Trading Halt adalah alat penting untuk menjaga stabilitas pasar saham, meski bukan solusi permanen untuk masalah struktural. Kejadian pada 18 Maret 2025 menegaskan bahwa pasar Indonesia tetap rentan terhadap guncangan eksternal dan internal. Bagi BEI, meningkatkan transparansi selama halt—misalnya dengan komunikasi cepat tentang penyebab dan durasi—akan membantu menjaga kepercayaan investor. Bagi investor, waktu jeda ini sebaiknya dimanfaatkan untuk analisis mendalam, bukan sekadar menunggu dengan cemas. Ke depan, evaluasi aturan circuit breaker mungkin diperlukan untuk memastikan mekanisme ini tetap relevan di tengah dinamika pasar yang semakin cepat.